Februari 11, 2009

Memahami Cerebral Palsy

'KELAINAN BAYI'
Celebral Palsy

Memahami Cerebral Palsy

Perasaan Lanneke Alexander campur aduk antara sedih, frustasi, dan putus asa saat tahu putra pertamanya, Anthony, terkena cerebral palsy. Sampai usia enam bulan, dokter masih menyatakan Anthony normal. Gejala kelainan mulai terlihat saat Anthony sering demam dan kejang-kejang. Tak seperti bayi seusianya, Anthony hanya mampu tidur terlentang dan lumpuh total, ia seperti tak punya tulang belakang.

Anthony tidak sendirian. Menurut Dr.Dwi P.Widodo, Sp.A (K), MMed, dari divisi neurologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM, jumlah anak Indonesia yang menderita cerebral palsy mencapai seribu anak per satu juta kelahiran.

Cerebral palsy (CP) adalah gangguan kontrol terhadap fungsi motorik karena kerusakan yang terjadi pada otak yang sedang berkembang. “Bisa terjadi saat masih dalam kandungan (75 persen), saat proses kelahiran (5 persen) atau setelah dilahirkan (15 persen),” kata Dwi.

Penyebab CP sampai saat ini belum diketahui, diduga terjadi karena bayi lahir prematur sehingga bagian otak belum berkembang sempurna, bayi yang lahir tidak langsung menangis sehingga otak kekurangan oksigen, atau karena adanya cacat tulang belakang dan pendarahan di otak. “CP merupakan penyakit yang didapat, artinya pada awalnya otak normal, lalu terjadi gangguan, entah itu virus atau bakteri yang menyebabkan radang otak atau penyakit lain, ketika gangguan itu berlalu, otaknya ada yang rusak, nah terjadilah CP,” paparnya.

Empat Tipe

Secara umum CP dikelompokkan dalam empat tipe, yaitu spastic, athetoid, hypotonic, dan tipe kombinasi. Pada tipe spastic atau kaku-kaku, penderita bisa terlalu lemah atau terlalu kaku. Tipe spastic adalah tipe yang paling sering muncul, sekitar 65 persen penderita CP masuk dalam tipe ini.

Athetoid untuk tipe penderita yang tidak bisa mengontrol gerak ototnya, biasanya mereka punya gerakan atau posisi tubuh yang aneh. Kombinasi adalah campuran spastic dan athetoid.

Sedangkan hypotonic untuk anak-anak dengan otot-otot yang sangat lemah sehingga seluruh tubuh selalu terkulai. Biasanya berkembang jadi spastic atau athetoid. CP juga bisa berkombinasi dengan gangguan epilepsi, mental, belajar, penglihatan, pendengaran, maupun bicara.

Ciri-ciri

Gejala CP sudah bisa diketahui saat bayi berusia 3-6 bulan, yakni saat bayi mengalami keterlambatan perkembangan. Menurut Dwi, ciri umum dari anak CP adalah perkembangan motorik yang terlambat, refleks yang seharusnya menghilang tapi masih ada (refleks menggenggam hilang saat bayi berusia 3 bulan), bayi yang berjalan jinjit atau merangkak dengan satu kaki diseret.

“Begitu ada petunjuk keterlambatan, misalnya bayi belum bisa tengkurap atau berguling, segeralah bawa ke dokter untuk pemeriksaan,” ujarnya. Pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter mendeteksi CP pada umumnya melakukan CT-Scan dan MRI untuk mengukur lingkar otak, serta melakukan tes lab untuk menelusuri apakah si ibu memiliki riwayat infeksi seperti toksoplasma atau rubella.

Terapi

Sampai saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan CP. Namun tetap ada harapan untuk mengoptimalkan kemampuan anak CP dan membuatnya mandiri.<<<<<<<<<<<<<<<<

“Berbeda dengan cedera otak yang lain, ciri khas dari CP adalah kelainannya bersifat permanen non progresif, artinya akan berubah ke arah perbaikan, meski perkembangannya lambat,” katanya.

Terapi yang diberikan pada penderita CP akan disesuaikan dengan usia anak, berat ringan penyakit, serta tergantung pada area otak mana yang rusak. “Meski ada bagian otak yang rusak, namun sel-sel yang bagus akan meng-cover sel-sel yang rusak. Untuk mengoptimalkan bagian otak yang sehat tersebut, perlu diberikan stimulasi agar otak anak berkembang baik,” katanya.

Stimulasi otak secara intensif bisa dilakukan melalui panca indera untuk merangsang perimbangan penyebaran dendrit, yang dikenal dengan istilah compensatory dendrite sprouting. Beberapa orangtua yang memiliki anak penderita CP mengaku berhasil mengoptimalkan kemampuan anaknya lewat metode glenn doman.

Metode glenn doman untuk anak dengan cedera otak berupa patterning (pola) untuk melatih gerakan kaki dan tangan, merayap, merangkak, hingga masking (menghirup oksigen), untuk melatih paru-paru agar membesar. Sejak tahun 1998, lebih dari 1700 anak cedera otak mengalami perbaikan cukup berarti setelah melakukan terapi ini.

0 komentar: